Pengaruh Hipertensi pada Organ tubuh
Pengobatan Ustadz Galih Gumelar - Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan berbagai organ target seperti otak, jantung, ginjal, aorta, pembuluh darah perifir, dan retina. Beberapa penelitian secara cross sectional membuktikan bahwa kerusakan organ target lebih erat hubungannya dengan hasil pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau Ambulatory Blood Preasure (ABP) daripada tekanan darah sesaat di klinik.
Pengobatan Ustadz Galih Gumelar - Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan berbagai organ target seperti otak, jantung, ginjal, aorta, pembuluh darah perifir, dan retina. Beberapa penelitian secara cross sectional membuktikan bahwa kerusakan organ target lebih erat hubungannya dengan hasil pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau Ambulatory Blood Preasure (ABP) daripada tekanan darah sesaat di klinik.
Pada orang normal, tekanan darah mengikuti pola sirkadian, yaitu tekanan darah mengalami penurunan pada malam hari dan mengalami kenaikan pada pagi hari. Demikian pula pada sebagian besar penderita hipertensi, yang juga mengikuti pola sirkadian orang normal (dippers). Tetapi, pada penderita hipertensi non-dippers tidak terjadi penurunan tekanan darah malam hari. Kejadian penyakit kardiovaskular maupun stroke lebih sering timbul pada penderita hipertensi non-dippers daripada penderita hipertensi dippers. Kerusakan organ target yang lebih berat erat hubungannya dengan pasien dengan tekanan darah tetap tinggi pada malam hari (non-dippers) daripada pasien yang tekanan darahnya menurun secara normal pada malam hari (dippers)7.
Sebagai contoh, hasil penelitian dari Verdecchia dan kawan-kawan secara kohort prospektif terhadap1100 penderita hipertensi, dilaporkan angka kematian rata-rata lebih tinggi, baik pada non-dippers dan reverse dipper daripada dippers. Hasil penelitian Yamamoto membuktikan bahwa tekanan darah yang tinggi pada pengukuran secara ambulatory (ABP), khususnya tekanan darah yang tinggi pada malam hari dan penurunan tekanan darah yang kurang pada malam hari, akan menyebabkan efek yang merugikan (bertambah luasnya lesi) pada lesi iskemik yang tenang (silent ischemic lesions) dan stroke simptomatis pada pasien dengan infark lakuner9.
Sebagai contoh, hasil penelitian dari Verdecchia dan kawan-kawan secara kohort prospektif terhadap1100 penderita hipertensi, dilaporkan angka kematian rata-rata lebih tinggi, baik pada non-dippers dan reverse dipper daripada dippers. Hasil penelitian Yamamoto membuktikan bahwa tekanan darah yang tinggi pada pengukuran secara ambulatory (ABP), khususnya tekanan darah yang tinggi pada malam hari dan penurunan tekanan darah yang kurang pada malam hari, akan menyebabkan efek yang merugikan (bertambah luasnya lesi) pada lesi iskemik yang tenang (silent ischemic lesions) dan stroke simptomatis pada pasien dengan infark lakuner9.
Sementara itu, hasil penelitian dari Chaturvedi dan kawan-kawan membuktikan bahwa serangan stroke iskemik lebih sering terjadi pada pagi hari (antara jam 06.00 sampai 12.00). Menurut Chaturvedi, ada beberapa penjelasan yang dapat diterima mengapa serangan stroke iskemik terjadi pada pagi hari:
Pola sirkadian tekanan darah. Pola tekanan darah meningkat pada pagi hari (peningkatan tertinggi terjadi pada pertengahan pagi hari sampai tengah hari). Peningkatan tekanan darah menyebabkan peningkatan intraplaque hemorrhage, sehingga akan memperberat stenosis pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis.
Peningkatan agregasi platelet terjadi pada pagi hari.
Viskositas darah mencapai puncaknya pada pagi hari.
Aktivitas TPA (endogenous tissue plasminogen activator) sangat rendah pada pagi hari. Hal ini akan mengubah keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis sehingga trombosis menjadi lebih dominan.
Peningkatan agregasi platelet terjadi pada pagi hari.
Viskositas darah mencapai puncaknya pada pagi hari.
Aktivitas TPA (endogenous tissue plasminogen activator) sangat rendah pada pagi hari. Hal ini akan mengubah keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis sehingga trombosis menjadi lebih dominan.
Peran Hipertensi Dalam Patogenesis Stroke
Orang normal mempunyai suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (voasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak tetap konstan. Walaupun terjadi penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg, autoregulasi arteri serebral masih mampu memelihara aliran darah ke otak tetap normal. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan sistolik dan 110-120 mmHg untuk tekanan diastolik.
Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak13.
Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter 1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma dari Charcot-Bouchard dan terutama terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah.
Pada keadaan normal, endotelial menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II, endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator (prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor-faktor ini menyebabkan dan mencegah proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi vasokonstriksi, proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, agregasi trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen, dan imunoglobulin14. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang peranan yang penting untuk terjadinya stroke infark.
Penurunan Tekanan Darah Dalam Pencegahan Stroke Primer dan Sekunder
Pencegahan stroke primer ini ditujukan bagi individu berisiko tinggi untuk terjadinya stroke, yaitu dengan mengendalikan faktor-faktor risiko stroke. Faktor-faktor risiko stroke yang dapat diobati atau dikendalikan dan terbukti dapat menurunkan terjadinya stroke dengan baik adalah hipertensi, merokok, diabetes, stenosis arteri karotis yang asimptomatis, penyakit sel Sickle, hiperlipidemia, dan arterial fibrilasi. Faktor risiko lain yang potensial dapat dikendalikan adalah obesitas, aktivitas fisik yang kurang, alkohol, hiperhomosisteinemia, penyalah gunaan obat (kokain, ampetamin, dan heroin), nutrisi (diet kurang sayuran dan buah-buahan), oral kontrasepsi, hiperkoagulabilitas, infeksi kronis Chalmydia pneumoniae, dan terapi pengganti hormon15.
Klugel dan kawan-kawan melaporkan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol terdapat pada 78% kasus stroke iskemik dan 85% pada kasus stroke hemoragik16. Hipertensi yang tidak terkendali sangat kuat hubunganya dengan stroke akut17. Suatu overviews dari 14 prospective randomized menunjukkan bahwa dengan penurunan tekanan darah 5 mmHg sampai 6 mmHg dapat menurunkan terjadinya stroke 42%18. Hasil penelitian The Systolic Hypertension in the Eldery Program (SHEP) memperlihatkan penurunan insiden stroke 36% dengan pengobatan antihipertensi (klortahalidon atau atenolol) pada pasien usia lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension)19. Risiko terjadinya stroke akan meningkat dua kali setiap kenaikan 7,5 mmHg tekanan diastolik. Antihipertensi dapat menurunkan risiko terjadinya stroke 38%20.
Hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Gueyffier menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan obat antihipertensi dapat menurunkan terjadinya risiko stroke ulang21. Sedangkan hasil penelitian dari POGRESS (Perindopril Protection Against Recurrent Study) menunjukkan bahwa terapi dengan perindopril pada pasien stroke dengan hipertensi dapat menurunkan secara bermakna terjadinya sroke ulang (risk reduction=28%, 95% Cl = 17% to 38%, P<0.0001)22.
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Akut
Hipertensi didapatkan pada 80% penderita stroke akut ketika masuk ke rumah sakit. Terjadi kenaikan tekanan darah pada stroke iskemik akut yang sebagian besar hanya bersifat sementara. Hasil penelitian dari Harper dan kawan-kawan menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan sampai hari ke-7 setelah serangan stroke iskemik akut23. Mekanisme kenaikan tekanan darah, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik, masih belum diketahui. Tetapi, diduga ada hubungan dengan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, yaitu dengan adanya peningkatan kadar katekolamin plasma dan kortikosteroid24. Prognosis dan hipertensi post stroke masih belum jelas. Tekanan darah pada saat masuk ke rumah sakit tidak berhubungan dengan prognosis stroke, kecuali pada penderita dengan gangguan kesadaran. Ada korelasi antara hipertensi dengan besarnya angka kematian. Tetapi, hasil penelitian Danish menunjukkan bahwa tekanan sistolik pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan menurunnya risiko terjadinya progresivitas dan stroke sebesar 40% setiap kenaikan 20% tekanan sistolik25.
Hipertensi didapatkan pada 80% penderita stroke akut ketika masuk ke rumah sakit. Terjadi kenaikan tekanan darah pada stroke iskemik akut yang sebagian besar hanya bersifat sementara. Hasil penelitian dari Harper dan kawan-kawan menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan sampai hari ke-7 setelah serangan stroke iskemik akut23. Mekanisme kenaikan tekanan darah, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik, masih belum diketahui. Tetapi, diduga ada hubungan dengan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik, yaitu dengan adanya peningkatan kadar katekolamin plasma dan kortikosteroid24. Prognosis dan hipertensi post stroke masih belum jelas. Tekanan darah pada saat masuk ke rumah sakit tidak berhubungan dengan prognosis stroke, kecuali pada penderita dengan gangguan kesadaran. Ada korelasi antara hipertensi dengan besarnya angka kematian. Tetapi, hasil penelitian Danish menunjukkan bahwa tekanan sistolik pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan menurunnya risiko terjadinya progresivitas dan stroke sebesar 40% setiap kenaikan 20% tekanan sistolik25.
Terapi hipertensi pada saat stroke akut mempunyai risiko kurang baik pada prognosis stroke. Penurunan tekanan darah beberapa jam setelah stroke akut menyebabkan perburukan kelaianan nerologis. Mungkin hal ini disebabkan
oleh adanya penurunan tekanan perfusi di darah infark26. Pada beberapa hari sesudah serangan stroke akut, autoregulasi serebral dan tekanan perfusi serebral lokal mengalami gangguan. Namun, kebanyakan akan menjadi normal kembali setelah 2 sampai 4 hari27. Peneliti lain melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak diturunkan pada waktu serangan stroke akut, dapat menyebabkan edema otak28. Hasil penelitian dari Chamorro dan kawan-kawan menunjukan bahwa perbaikan yang sempurna pada iskemik stroke dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak berkembang, sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat29.
Masih ada perbedaan pendapat mengenai dapat tidaknya hipertensi pada stroke akut segera diturunkan. Walaupun demikian, belum ada uji klinik randomisasi mengenai pemberian obat antihipertensi pada penderita stroke akut dengan hipertensi. Guideline Stroke 2000 yang dikeluarkan oleh kelompok studi Serebrovskular & Neurogeriatri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dapat digunakan sebagai pegangan dalam terapi hipertensi pada saat stroke akut30.
Stroke Iskemik Akut
Tekanan darah baru diturunkan setelah 2–7 hari pasca stroke iskemik akut, kecuali ada indikasi khusus. Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari tekanan darah rata-rata. Indikasi terapi hipertensi pada stroke akut:
Jika tekanan darah diastolik > 140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 5 menit, berikan infus natriun nitroprusid (sangat emergensi).
Jika tekanan darah sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik l21–140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 20 menit, berikan 20 mg labetolol iv selama 1–2 menit. Dosis labetolol dapat diulang setiap 10–20 menit sampai penurunan darah yang memuaskan. Setelah pemberian dosis awal, labetolol dapat diberikan setiap 6–8 jam bila diperlukan (emergensi).
Jika tekanan darah sistolik 180–230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 105–120 mmHg, terapi darurat harus ditunda tanpa adanya bukti perdarahan intraserebral atau gagal ventrikel jantung kiri. Jika tekanan darah menetap pada dua kali pengukuran selang 60 menit, maka diberikan 200–300 mg labetolol 2–3 kali sehari. Pengobatan alternatif selain labetolol adalah nifedipin oral 10 mg tiap 6 jam atau kaptopril 6,25–12,5mg tiap 8 jam (urgensi).
Tekanan sistolik <180>
Jika tekanan darah sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik l21–140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 20 menit, berikan 20 mg labetolol iv selama 1–2 menit. Dosis labetolol dapat diulang setiap 10–20 menit sampai penurunan darah yang memuaskan. Setelah pemberian dosis awal, labetolol dapat diberikan setiap 6–8 jam bila diperlukan (emergensi).
Jika tekanan darah sistolik 180–230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 105–120 mmHg, terapi darurat harus ditunda tanpa adanya bukti perdarahan intraserebral atau gagal ventrikel jantung kiri. Jika tekanan darah menetap pada dua kali pengukuran selang 60 menit, maka diberikan 200–300 mg labetolol 2–3 kali sehari. Pengobatan alternatif selain labetolol adalah nifedipin oral 10 mg tiap 6 jam atau kaptopril 6,25–12,5mg tiap 8 jam (urgensi).
Tekanan sistolik <180>
Tekanan darah pada fase akut tidak boleh diturunkan lebih dari 20%. Penurunan tekananan darah rata-rata tidak boleh lebih dari 25% dan tekanan darah arteri rata-rata.
Bila tekanan darah sistolik lebih dari 230 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari 140 mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 5 menit, berikan natrium nitroprusid atau nitrogliserin drip.
Bila tekanan sistolik 180–230 mmHg atau tekanan diastolik 105–140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 20 menit, berikan labetolol injeksi atau enalapril.
Bila tekanan sistolik kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastolik kurang 105 mmHg, pemberian obat anti hipertensi ditangguhkan.
Bila tekanan sistolik 180–230 mmHg atau tekanan diastolik 105–140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 20 menit, berikan labetolol injeksi atau enalapril.
Bila tekanan sistolik kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastolik kurang 105 mmHg, pemberian obat anti hipertensi ditangguhkan.
Obat hipertensi yang diberikan kepada pasien stroke adalah obat yang tidak mempengaruhi aliran darah otak. Dyker dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian perindopril efektif menurunkan tekanan darah tanpa menganggu aliran darah otak pada pasien stroke iskemik akut31. Sedangkan Walter dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian perindopril pada pasien stroke iskemik yang tidak akut, dengan stenosis atau oklusi sedang sampai berat pada arteri karotis intema, terjadi penurunan tekanan darah tanpa penurunan aliran darah otak32.
EmoticonEmoticon